Waktu baca : +/- 6 menit

Sama seperti daerah lain di Indonesia, tradisi Jawa terdiri dari beragam bentuk, mulai dari yang berkaitan dengan keagamaan, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat. Tak sedikit yang hingga kini masih lestari dan masih banyak yang melaksanakan seperti kelahiran, pernikahan, sampai kematian.

Menurut laman Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tradisi merupakan adat istiadat atau kebiasaan nenek moyang yang menurun dari generasi ke generasi. Sehingga keberadaannya masih ada sampai sekarang dan menjadi bagian dari identitas budaya dalam sebuah kelompok masyarakat. Di Jawa, tradisi yang tetap eksis tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Mitoni Atau Tingkeban

Tradisi Jawa
Mitoni merupakan ritual untuk menandai usia hehamilan yang ke-7 bulan. Foto: flickr.com

Mitoni merupakan suatu istilah yang berasal dari kata ‘pitu’ dan dalam bahasa Indonesia punya arti tujuh. Ini merujuk pada upacara adat untuk memperingati kehamilan seorang perempuan yang memasuki usia tujuh bulan. Upacara adat yang punya nama lain tingkeban ini merupakan simbol harapan agar si ibu dan jabang bayi dalam kandungan selalu mendapatkan keselamatan.

Dalam tradisi Jawa tersebut selalu terhidang makanan khas berupa jenang procot, yakni bubur yang terbuat tepung beras, pisang raja, dan gula merah. Pisangnya harus utuh dan terletak di tengah piring sebagai lambang doa agar nantinya jabang bayi dapat ‘mrocot’ atau lahir dengan lancar.

2. Babaran dan Selapanan

Tradisi Jawa
Sepasaran atau selapanan merupakan budaya untuk menyambut kelahiran bayi. Foto: commons.wikimedia.org

Usai kelahiran dan bayi memasuki usia sepasar atau lima hari, ada tradisi bernama sepasaran dalam bentuk pembagian sega atau nasi bancakan dengan lauk sayur mayur dan telur rebus. dengan campuran bumbu parutan kelapa. Pembagian ini secara khusus untuk anak-anak dengan maksud agar si bayi memiliki banyak teman.

Setelah sepasaran, selang satu bulan berikutnya ada adat istiadat lain bernama selapanan dengan konsep yang sama dan menjadi media pemberitahuan jika sang bayi sudah masuk usia selapan atau 35 hari. Demikian pula dengan maknanya, masih sama dan saat pembagian nasi bancakan ada iringan doa kelancaran rezeki beserta teriakan kebahagiaan.

Baca juga: Inthuk-inthuk, Wujud Doa dan Cinta Kasih Ibu Pada Anaknya

Baca juga: Sejarah Berdirinya Kerajaan Pajajaran dan Kisah Keruntuhannya

3. Tedak Siten

Tradisi Jawa
Tedak siten mengandung nilai filosofi agar anak bisa mandiri dan tegas. Foto: flickr.com

Berikutnya saat bayi memasuki usia sekitar 8 atau 9 bulan, terdapat ritual dengan makna yang tak kalah penting yakni tedak siten. Dalam bahasa Jawa, tedak memiliki arti kaki dan siten berasal dari kata siti atau tanah. Sehingga sesuai penyebutannya, tradisi Jawa ini merupakan penandaan bahwa bayi sudah mulai bisa berjalan sendiri.

Dalam adat tersebut, anak mendapat ajakan dan tuntunan berjalan di atas makanan tradisional jadah dan naik tangga kecil dari batang tebu. Setelah itu masuk ke dalam kandang ayam yang berisi makanan, mainan, buku, dan uang. Semua adalah simbol harapan agar setelah memasuki usia dewasa nanti dapat memiliki sifat mandiri dan tegas dalam mengambil keputusan.

4. Ruwatan

Tradisi Jawa
Ada anak dengan beberapa ciri khusus yang harus menjalani ritual ruwatan. Foto: commons.wikimedia.org

Di masa sekarang ruwatan lebih sering digelar secara massal dengan maksud untuk menghemat biaya mengingat salah satu unsur utamanya berupa pertunjukan wayang kulit. Tujuannya yaitu untuk melepaskan diri dari sukerta atau nasib sial yang melekat pada diri seseorang. Sehingga hanya orang tertentu saja yang memiliki kewajiban menjalankan tradisi ini.

Di antaranya adalah anak tunggal, kembar laki-laki dan perempuan, hanya punya satu saudara laki-laki atau wanita saja, dan sejumlah kekhususan lainnya. Setiap peserta harus mandi pakai air setaman, lalu lanjut dengan potong rambut dan kuku. Sesudah itu ada pertunjukan wayang kulit sebagai wujud permohonan pada Tuhan agar senantiasa mendapat keselamatan.

Baca juga: 10 Pondok Pesantren Tertua di Indonesia, Usianya Ada yang Mencapai 500 Tahun (Bagian 1)

Baca juga:10 Pondok Pesantren Tertua di Indonesia, Usianya Ada yang Mencapai 500 Tahun (Bagian 2)

5. Pernikahan

Pernikahan dalam tradisi Jawa itu banyak sekali macamnya dan sebagai awalan adalah lamaran yang terbagi lagi dalam beberapa prosesi. Mulai dari congkong, salar, nontoni, ngelamar, seserahan, dan lainnya yang masing-masing punya tujuan atau makna yang berbeda-beda. Namun secara garis besar adalah untuk mengakrabkan diri antara keluarga calon pengantin pria dan wanita.

Susunan acara utamanya juga tidak kalah komplit seperti pasang tarub, srah-srahan, siraman, midodareni, dan ijab kabul. Kemudian ada susulan lain berupa panggih, bobot timbang, nenem jero, kacar-kucur, dulangan, dan sungkeman. Selain itu tak sedikit yang menambah lagi dengan ngunduh mantu atau gelar resepsi oleh pihak keluarga pengantin pria.

6. Sadranan Atau Ruwahan

Setiap bulan Ruwah menurut penanggalan Jawa atau sebelum masuk bulan Ramadan menurut kalender Islam (Hijriyah), ada tradisi ziarah kubur yang sering dinamakan sebagai sadranan atau ruwahan. Dalam kegiatan ini, masyarakat akan mendatangi makam leluhur untuk mendoakan yang sudah wafat dan tabur bunga yang terkenal dengan sebutan nyekar.

Di daerah tertentu khususnya di pedesaan yang memiliki kompleks makam sendiri, tak jarang budaya tersebut dibarengi dengan tradisi lain yakni bersih desa. Secara gotong royong warga membersihkan area makam dan pengucapan doanya juga berlangsung secara bersama-sama. Setelah itu lanjut makan bersama atau kembulan dengan beragam menu tradisional.

Baca juga: Desa Wisata, Tempat Belajar Budaya dan Kearifan Lokal

Baca juga: Ini Dia 9 Desa Wisata Terindah dan Tercantik di Indonesia

7. Syawalan

Sesuai penyebutannya, syawalan merupakan tradisi Jawa yang dilaksanakan pada Hari Raya Idul Fitri atau satu Syawal (dalam kalender Jawa disebut Sawal). Bentuknya berupa pertemuan bersama keluarga, tetangga, hingga sahabat dekat dalam rangka bermaaf-maafan dan saling mendoakan  agar mendapat kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.

Dalam acara tersebut, biasanya terhidang makanan khas berupa ketupat dan lauk opor sambal goreng. Bagi yang usianya masih kanak-kanak pasti merasa senang mendatangi pertemuan ini. Sebelum pulang, tuan rumah akan mengasih hadiah uang yang kemudian mereka pakai untuk beli mainan atau barang menarik lainnya.

Baca juga: Pagoda Watugong Semarang, Keindahan Arsitekturnya Sangat Menakjubkan

Baca juga: Museum Nasional Indonesia Yang Sangat Kaya Koleksi Sejarah dan Budaya

8. Brobosan

Ketika ada anggota keluarga yang meninggal, masyarakat Jawa melaksanakan tradisi brobosan yang dalam bahasa Indonesia mengandung arti menerobos. Sebelum penguburan, suami atau istri, anak, menantu dan cucu berjalan bersama di bawah keranda jenazah yang diangkat tinggi sebanyak tiga kali.

Ritual tersebut merupakan simbol perpisahan sekaligus wujud keikhlasan ditinggal atas orang yang mereka sayangi sehingga dapat melewati kesedihan tanpa berlarut-larut. Selain itu juga menjadi wujud penghormatan pada yang wafat dan mengantar roh orang tersebut menuju alam keabadian atau alam baka.

Itulah sejumlah tradisi Jawa yang hingga kini masih lestari, mulai dari kehamilan, kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Semoga bisa menambah wawasan dan pengetahuan kita semua, terimakasih. (J-147)

Terima Kasih Telah Membagikan Artikel Ini: