Lavender marriage merupakan sebuah ikatan pernikahan antara seorang pria dan wanita, tapi salah satu di antara mereka atau keduanya memiliki orientasi seksual yang berbeda. Entah itu homoseksual, lesbian, atau biseksual. Sehingga terjadinya pernikahan tersebut bukan atas dasar cinta, namun ada alasan lain yang bersifat kompleks.
Istilah lavender sendiri merujuk pada paduan warna yang berhubungan dengan urusan gender atau jenis kelamin dan seksualitas. Dalam komunitas global, banyak yang menganggap warna lavender adalah cerminan dari perilaku yang tidak sesuai dengan budaya dan norma sosial di masyarakat.
Menurut penjelasan dari situs marriage.com , lavender marriage atau pernilahan lavender pada umumnya punya tujuan untuk menyembunyikan identitas seksual dari lingkungan masyarakat. Meski masyarakat mulai terbuka dengan keberadaan pecinta sejenis, namun tidak sedikit pula yang masih memandang secara negatif kehadiran mereka.
Hal inilah yang kemudian kerap menjadi latar belakang lavender marriage, sehingga pelakunya bisa terhindar dari berbagai dampak sosial terutama terkait reputasi dan karier. Selain itu secara hukum dan finansial, juga dapat memberi beberapa keuntungan. Mulai dari pengurangan pajak, pembagian harga warisan, tunjangan kesehatan, dan sebagainya.
Baca juga: 8 Bukti Nyata Ketulusan Pasangan Dalam Menjalin Hubungan Asmara
baca juga: Putus Cinta?, Lakukan 7 Tindakan Ini Agar Secepatnya Bisa Move On
Di sisi lain meski tak ada rasa cinta, lavender marriage bisa menjadi sarana untuk menciptakan persahabatan, saling memberi hormat dan mengasih dukungan. Di luar urusan orientasi yang berlainan, pernikahan ini juga dapat berperan sebagai sumber stabilitas dan kenyamanan batin. Namun tentu saja, semua tergantung pada pelaku dan tujuan utamanya.
Walau jarang jadi bahan perbincangan di forum-forum terbuka, tidak sulit menjumpai lavender marriage di berbagai penjuru dunia. Bahkan kerap terjadi pada sejumlah publik figur, baik itu selebriti dan politisi. Tapi untuk membuktikannya memang bukan merupakan perkara mudah karena adanya budaya masyarakat yang belum berani bicara terang-terangan tentang hal ini.
Baca juga: Rahasia Mendekatkan Diri Dengan Keluarga Pasangan
Baca juga: Cara Mengetahui Dia Pasangan Serius atau Hanya Main-main
Konsekuensi

Sebutan lavender marriage mulai muncul sekitar tahun 1920 di Hollywood, Amerika Serikat. Di era tersebut perilaku homoseksual, lesbian, dan biseksual dianggap sebagai sebuah tindakan ilegal, sehingga dapat menghancurkan karier aktor atau aktris. Agar tak kehilangan profesinya, mereka memutuskan menjalani pernikahan yang tidak semestinya.
Baca juga: Lakukan 8 Tips Cerdas Ini Jika Ingin Menjalin Hubungan Lagi Dengan Mantan
Baca juga: Pengin Nikah Muda? Pikirkan 4 Urusan Penting Ini Sebelum Memutuskan
Baik di masa lalu atau sekarang, pernikahan tersebut acap memunculkan sejumlah konsekuensi dan salah satunya adalah ketegangan. Individu yang terlibat dalam lavender marriage memang bisa menyembunyikan personalitas seksualnya dari masyarakat. Tetapi pada sisi yang lain juga menimbulkan tekanan emosional seperti depresi, cemas, hingga krisis identitas.
Pelaku akan kehilangan kebebasan yang sebenarnya merupakan bagian dari identitas mereka sendiri. Mereka harus menjalani kehidupan yang penuh dengan sandiwara ketika bersosialisasi dengan keluarga, teman, dan masyarakat. Faktor inilah yang memunculkan tekanan jika karena harus berperan sebagai ‘orang lain’.
Apalagi meski kadangkala ada semacam rasa persahabatan, namun keduanya tidak mempunyai ikatan romantis sejati yang kemudian melahirkan rasa tidak puas. Setelah itu muncul perasaan sepi dan asing karena harus menjalani kehidupan di dua dunia. Di sinilah hadir konflik-konflik lain yang dapat membuat pikiran dan batin jadi makin tersiksa.
Baca juga: Tinggal Bersama Mertua, Apa Susah dan Enaknya?
Baca juga: Segera Lakukan Tindakan Ini Ketika Jadi Korban KDRT
Atas dasar itulah, pikir sematang mungkin sebelum menjalani lavender marriage agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Ingat, tujuan paling prinsipil dari pernikahan adalah menikmati kebahagiaan dan menghadapi tantangan hidup dengan pasangan, bukan justru cari masalah. (J-191)
Tinggalkan Balasan