Waktu baca : +/- 6 menit

Dibanding tokoh penyebar agama Islam lainnya di tanah Jawa khususnya Walisongo, Sunan Bayat atau Ki Ageng Pandanaran II memang kurang begitu terkenal. Namun sosok ini tetap mendapatkan penghormatan tinggi, karena merupakan salah satu murid kesayangan Sunan Kalijaga. Apalagi selain ikut menyebarkan ajaran Islam di Jawa, beliau pernah menjabat sebagai Bupati di Semarang.

Kehidupan masa lalu Ki Ageng Pandanaran II

Menurut catatan sejarah yang ada, pada sekitar abad XVI, Semarang diperintah oleh seorang bupati bergelar Harya Madya Pandan. Pada masa tersebut Semarang merupakan bagian dari daerah kekuasaan Kerajaan Demak yang tidak lain adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa setelah keruntuhan kerajaan Majapahit sekitar akhir abad XV.

Sepeninggal Harya Madya Pandan, kedudukannya tergantikan oleh salah seorang putranya yaitu Pangeran Mangkubumi yang kemudian mendapat gelar Ki Ageng Pandanaran II. Pengangkatan ini adalah hasil perundingan antara Sunan Kalijaga dan Sultan Hadiwijaya yang saat itu menjabat sebagai penasihat senior Kerajaan Demak.

Begitu memegang jabatan sebagai bupati pada 1547 Masehi, Ki Ageng Pandanaran II langsung menjalankan tugas-tugasnya. Tidak jauh beda dengan mendiang ayahnya, pemimpin ini sangat giat melakukan pembangunan di berbagai bidang pemerintahan, termasuk urusan keagamaan.

Selain itu dia juga rutin menyelenggarakan pengajian dan sering menyampaikan khotbah sebelum pelaksanaan sholat Jumat di masjid. Pondok pesantren juga tidak pernah luput dari perhatian dan beliau terus mengembangkan sistem pendidikannya. Melalui langkah-langkahnya ini Ki Ageng Pandanaran selalu dipandang sebagai pemimpin yang sangat amanah sehingga rakyat selalu segan kepadanya.

Namun sayang sekali, sifat baik yang melekat pada diri Ki Ageng Pandanaran tidak berlangsung lama. Setelah sekian tahun menjabat sebagai bupati, dia mulai silau oleh harta dan rajin memupuk kekayaan pribadi dengan cara yang salah. Setiap waktu terjadi kenaikan pajak, sehingga menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan masyarakat.

Bahkan setelah kekayaannya bertambah banyak dan melimpah, Ki Ageng Pandanaran makin lupa diri. Pengajian di masjid, kunjungan ke pondok pesantren dan kegiatan kerohanian lainnya sering ditinggalkan. Selain itu yang lebih memprihatinkan, dia lebih suka memperlihatkan sifat takabur, sombong, congkak dan kikir.

Pertemuan dengan Sunan Kalijaga
Ki Ageng Pandanaran II
Foto : commons.wikimedia.org

Perubahan ini kemudian terdengar oleh Sunan Kalijaga. Meski demikian anggota Walisongo ini merasa sulit memberi peringatan secara langsung. Sehingga beliau memutuskan mencari cara lain untuk menyadarkan Ki Ageng Pandanaran agar kembali ke jalan benar yang diridhoi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dalam sebuah kesempatan Sunan Kalijaga menyamar menjadi pemotong rumput dan menawarkan rumputnya pada bupati Semarang tersebut. Lalu Ki Ageng Pandanaran, menawar rumput itu dengan harga sangat murah. Meski demikian Sunan Kalijaga tetap mau menerima uang pembayaran tersebut.

Karena rumputnya sangat bagus dan dapat memperolehnya dengan harga rendah, Ki Ageng Pandanaran merasa sangat senang. Kemudian setelah meneliti rumput yang baru saja diterimanya, dia merasa kaget sekaligus gembira karena menemukan kepingan emas dalam ikatan rumput tersebut.

Peristiwa ini terjadi berulang-ulang dan suatu saat si pemotong rumput tidak meminta bayaran lagi. Sebagai gantinya dia meminta Ki Ageng Pandanaran agar membunyikan bedug dan melaksanakan ibadah sholat di masjid kabupaten. Mendapat perintah ini tentu saja Ki Ageng Pandanaran menolaknya mentah-mentah. Bahkan dia langsung marah karena merasa mendapat pelecehan tukang rumput tersebut.

Menjadi sadar kembali

Melihat kemarahan Ki Ageng Pandanaran, tukang rumput tetap tenang dan berdiam diri saja. Tidak lama kemudian dia memberikan ketegasan apabila dirinya tidak membutuhkan uang dan kekayaan. Selanjutnya orang ini juga menyebutan, jika ingin memperoleh emas, tinggal mengayunkan cangkulnya saja.

Ucapan ini membuat Ki Ageng Pandanaran makin geram dan mengancam tukang rumput agar segera membuktikan perkataannya. Dia juga berjanji akan mengabulkan semua permintaan laki-laki tua itu jika berhasil mencarikan emas dalam jumlah yang lebih banyak. Namun sebaliknya apabila tidak terbukti, akan langsung mendapat hukuman berat.

Tukang rumput langsung menanggapi tantangan tersebut. Dia segera mengambil cangkulnya dan sekali ayun, tanah depan area pendopo kabupaten terangkat ke atas. Lalu  pada bagian bawahnya terlihat bongkahan emas dengan warna kuning berkilauan.

Melihat kenyataan ini, Ki Ageng Pandaran II langsung sadar bahwa tukang rumput yang berdiri di hadapannya bukan merupakan sosok sembarangan dan punya kesaktian tinggi. Selain itu dia juga teringat dengan kesalahannya selama ini. Apalagi ketika mengetahui jika sebenarnya sosok tukang rumput yang sempat dicaci maki tersebut adalah Sunan Kalijaga. Rasa takutnya makin bertambah besar.

Menjadi murid Sunan Kalijaga

Usai menyadari kesalahannya, Bupati Semarang ini memohon pada Sunan Kalijaga agar bersedia mengangkat dirinya sebagai murid dan berjanji akan selalu berbakti kepada beliau. Menanggapi permintaan ini, Sunan Kalijaga menyuruh Ki Ageng Pandanaran pergi ke Gunung Jabalkat. Ki Ageng Pandanaran menyanggupi permintaan tersebut dan sejak itu mulai meninggalkan gaya hidup yang penuh gelimang dosa.

Dalam perjalanan menuju Gunung Jabalkat, Ki Ageng Pandanaran sering menemui hambatan dan rintangan. Dia sering kekurangan uang bahkan pernah ada dua penjahat yang merampoknya. Menurut kisah yang beredar, kedua penjahat ini pada akhirnya menjadi pengikut setia Ki Ageng Pandanaran dan pemimpinnya mendapat sebutan sebagai Syeh Domba.

Terkait dengan penamaan ini menurut kisah yang beredar, Ki Ageng Pandanaran sempat mengeluarkan amarah pada pemimpin perampok tersebut. Ki Ageng mengatakan bahwa perilakunya mirip dengan hewan domba. Tidak lama kemudian, kepala pimpinan perampok menjadi seperti kepala domba.

Ajaran Ki Ageng Pandanaran
Ki Ageng Pandanaran II
Foto : Koleksi pribadi

Sebagai murid kesayangan Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran terkenal sangat rajin dan cerdas. Karena itu sangatlah wajar jika Sunan Kalijaga memberinya tugas menyebarkan ajaran Islam ke wilayah lain di selatan Demak, khususnya daerah Gunung Jabalkat.

Kepada semua pengikutnya, sosok ini selalu memberi suatu ajaran bernama Patembayatan yang mengandung arti rukun dan gotong royong. Melalui ajaran inilah kemudian kawasan Gunung Jabalkat lebih terkenal dengan sebutan Bayat atau Tembayat. Saat ini wilayah tersebut menjadi sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.

Dalam perjalanan berikutnya, Ki Ageng Pandanaran juga sering mendapat panggilan dengan sebutan Sunan Bayat. Setelah wafat dalam usia sekitar 75 tahun, pengikutnya memakamkan jenazahnya di puncak Bukit Cakrakembang, sebelah selatan Bukit Jabalkat di Desa Paseban, Kecamatan Bayat.

Pada sisi yang lain setelah meninggalkan kehidupan duniawinya, Ki Ageng Pandanaran pernah menjadi pembantu di warung serabi agar bisa bertahan hidup. Sejak kedatangannya, warung serabi tersebut ramai kedatangan pembeli dan dagangan serabinya selalu laris setiap hari.

Dengan adanya kisah ini, banyak yang percaya jika Ki Ageng Pandanaran dapat membantu siapa saja yang ingin mencari kelancaran rezeki. Selain itu ketika mendirikan padepokan di kawasan Gunung Jabalkat, jumlah pengikutnya terus bertambah banyak.

Karena itu sangatlah wajar hingga saat ini makamnya selalu ramai oleh peziarah. Mereka tidak hanya datang dari Klaten saja, melainkan juga dari seluruh daerah di Indonesia bahkan luar negeri. Sebagian ingin berziarah dengan tujuan mendoakan arwah Ki Ageng Pandanaran II dan ingin melancarkan rezeki.Tapi selain itu tidak sedikit pula yang ingin menyelami dan meneladani ajarannya. (J-025)