Waktu baca : +/- 6 menit

Setelah sekian lama harus absen akibat pandemi Covid-19, akhirnya Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) mendapat izin menyelenggarakan Liga I dan Liga 2. Ajang ini merupakan kompetisi sepak bola profesional paling akbar di Indonesia. Tapi jauh sebelumnya, beberapa puluh tahun lalu sebetulnya sudah ada ajang sejenis yaitu Liga Sepak Bola Utama dan sangat populer dengan sebutan Galatama.

Meski bisa dikatakan sifatnya masih semi profesional (bukan profesional sepenuhnya), tapi ajang ini dianggap sebagai sebuah kemajuan besar bagi dunia sepak bola di tanah air. Apalagi selama digelar dari tahun 1979 – 1980 hingga 1993 – 1994, banyak sekali prestasi yang berhasil tercipta melalui ajang ini.

Kilas sejarah masa lalu dan terbentuknya PSSI

Sepak Bola
Logo PSSI. Foto : bola.com

Masyarakat Indonesia sudah mengakrabi sepak bola sejak ratusan tahun lalu. Bahkan pada masa penjajahan Belanda, sudah ada organisasi bernama NIVB yang merupakan singkatan dari Nederlandsch Indische Voetbal Bond. Organisasi yang berdiri tahun 1913 ini sering menyelenggarakan pertandingan antar klub secara amatir.

Pada perkembangannya, NIVB berubah nama jadi NIVU atau Nederlandsch Indische Voetbal Unie. Tapi sayangnya, sebagian besar klub yang menjadi anggota organisasi NIVU ini adalah klub-klub bentukan bangsa Belanda yang ketika itu masih menjajah Indonesia.

Berdasarkan alasan inilah, beberapa tokoh sepak bola dari berbagai daerah menggelar pertemuan rahasia di Yogyakarta pada 19 April 1930. Penggagasnya adalah Soeratin Soesrosoegondo. Beliau merupakan seorang karyawan di sebuah perusaahan Belanda, namun memiliki jiwa nasionalisme yang sangat tinggi.

Dalam pertemuan tersebut, diputuskan membuat organisasi sendiri yang diberi nama Persatuan Sepakraga Seloeroeh Indonesia atau PSSI. Sedangkan ketuanya, secara aklamasi memilih Soeratin untuk memegang jabatan tersebut.

Selain menjadi tempat berkumpulnya klub-klub lokal, pembentukan PSSI mempunyai tujuan lain, yaitu sebagai wadah gerakan nasional dalam rangka melawan penjajahan. Karena itulah pada awal kelahirannya, organisasi ini sering bersinggungan dengan urusan politik.

Bukan itu saja, PSSI juga kerap menentang kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda, terutama yang dikeluarkan melalui organisasi NIVU. Kondisi ini membuat PSSI jadi semakin populer di masyarakat hingga bangsa Indonesia berhasil memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945.

Kemudian dalam suatu kongres di Kota Solo pada 1950, terjadi pergantian nama dari Persatuan Sepakraga Seloeroeh Indonesia menjadi Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia dengan singkatan yang sama yaitu PSSI. Selanjutnya setelah mengalami pasang surut dari awal kemerdekaan hingga masa Orde Baru, PSSI menyelenggarakan ajang Galatama tahun 1979.

Kelahiran Galatama

Sepak Bola
Klub Jayakarta. Foto : skor.id

Pada tahun 1975, PSSI sibuk melakukan persiapan dalam rangka menghadapi Queens Cup atau Piala Ratu di Thailand. Meski kondisi sepak bola di tanah air sedang tidak bagus, organisasi ini tetap berusaha percaya diri.

Mereka membuat rencana untuk menggelar sebuah turnamen antar klub. Pesertanya adalah klub-klub yang berasal dari lima kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makassar.

Kemudian pada tanggal 30 Agustus hingga 4 September 1975 PSSI sukses menggelar turnamen tersebut dengan jumlah peserta sebanyak 6 klub. Sedangkan pemenangnya adalah klub Jayakarta yang kemudian jadi wakil dari Indonesia di ajang Queens Cup.

Tidak lama setelah itu, Bardosono yang menjabat sebagai Ketua Umum PSSI pada 23 Maret 1976 menyatakan apabila PSSI berniat melahirkan klub sepak bola profesional. Setelah itu sekitar lima bulan berikutnya atau 15 Agustus 1975, lahirlah secara resmi klub-klub profesional tersebut.

Jumlahnya ada 8 klub dan masing-masing adalah 4 klub dari Jakarta dan 4 klub dari luar Jakarta. Klub yang berasal dari Jakarta adalah Jayakarta, Buana Putra, Tunas Jaya dan Warna Agung. Sedangkan yang berasal dari luar Jakarta antara lain Pardedetex dari Medan, Palu Putra dari Palu, Beringin Putra dari Makassar dan Bangka Putra dari Bangka.

Meski telah menyandang status sebagai klub profesional, tapi pemainnya harus menunggu hingga satu tahun untuk mendapat gelar pemain profesional. Pada 15 Oktober 1975 usai pelaksanaan PON IX, Bardosono meminta pada Soebronto selaku Direktur Kompetisi untuk melakukan pengesahan.

Pembatalan dari Ali Sadikin

Sepak Bola
Ali Sadikin. Foto : readaksi.com

Tapi dalam perkembangan selanjutnya, pengesahan ini mendapat pembatalan dari Ketua Umum PSSI baru, Ali Sadikin. Sosok yang juga menjabat sebagai Gubenur DKI Jakarta ini terpilih menjadi Ketua Umum PSSI periode 1977 – 1981 melalui Kongres Luar Biasa atau KLB.

Melalui sebuah pernyataan Ali Sadikin menegaskan jika penyelenggaraan kompetisi profesional di Indonesia tidak boleh tergesa-gesa. Selain itu dia juga menilai, banyak terjadi pelanggaran aturan birokrasi dari jajaran pengurus PSSI. Terutama terkait rencana pagelaran kompetisi profesional tersebut.

Menurut Ali Sadikin, perlu diadakan pembicaraan lebih dulu antara Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Berdasarkan saran dari Ali Sadikin pula, kemudian PSSI menggelar Sidang Paripurna Pengurus pada tahun 1978. Dalam sidang tersebut keluar keputusan untuk membentuk Gala dan terdiri dari Galatama (Liga Sepak Bola Utama), Galasiswa (Liga Sepak Bola Mahasiswa), Galakarya (Laga Sepak Bola Karyawan) dan Galanita (Liga Sepak Bola Wanita).

Sementara itu pada sisi yang lain antara tahun 1976 sampai 1979, semua klub profesional sudah mengadakan kompetisi. Meski saat itu belum memiliki wadah resmi, namun jumlah pertandingannya cukup banyak. Banyak yang menyebutkan jika pertandingan ini merupakan pembukaan awal dari liga profesional.

Barulah setelah itu PSSI mulai menyelenggarakan Galatama secara resmi pertama kali pada musim kompetisi 1979 – 1980. Laga perdananya berjalan pada tanggal 17 Maret 1979 dan final pada 6 Mei 1980. Adapun klub yang berhasil menjadi pemenang adalah Warna Agung dan klub Jayakarta di posisi kedua.

Torehan prestasi

Sepak Bola
Klub Kramayuda Tiga Berlian. Foto : bolanusantara.com

Galatama adalah ajang kompetisi semi profesional pertama di kawasan benua Asia, selain Hongkong Premiere League atau Liga Hongkong. Akan tetapi dalam urusan kualitas, banyak yang menganggap Galatama  jauh lebih bagus. Bahkan Jepang, ketika ingin mengadakan kompetisi sejenis yaitu J-League, meniru konsep dari Galatama.

Bukan itu saja, kompetisi Galatama juga beberapa kali membuat sepak bola Indonesia jadi lebih terkenal di mata internasional. Misalnya klub Kramayuda Tiga Berlian yang berhasil menempatkan diri di juara tiga dalam ajang Champions Asia. Sedangkan klub lainnya yaitu Pupuk Kaltim dan Pelita Jaya, sempat masuk babak empat besar di ajang yang sama.

Klub berikutnya yaitu Makassar Utama juga tak kalah hebat. Klub ini memang tidak pernah berhasil menjuarai kompetisi Galatama. Meski demikian tetap layak mendapat pujian. Klub ini pernah menelurkan seorang pemain berbakat bernama Frenky Weno yang ikut menyukseskan kesebelasan Indonesia saat meraih medali emas di kejuaraan Sea Games 1987 di Jakarta.

Pemain Galatama lainnya yang ikut jadi pilar tim nasional Indonesia adalah Hanafing yang berasal dari klub Niac Mitra. Namanya sering mendapat sorotan karena sukses membawa Indonesia keluar sebagai juara pertama dalam ajang Sea Games 1991 di Manila, Filipina.

Satu hal yang patut disayangkan, meski berhasil menorehkan banyak prestasi namun ajang kompetisi Galatama tetap kalah populer dibanding Kompetisi Perserikatan. Atas dasar inilah kemudian pada musim kompetisi 1994 – 1995, PSSI membuat keputusan baru, menggabungkan keduanya jadi Ligina atau Liga Indonesia yang 100% bersifat profesional.

Maka sejak saat itu, berakhirlah kisah Galatama setelah berhasil menggelar kompetisi olahraga sepak bola sebanyak 13 musim. (J-048)

Terima Kasih Telah Membagikan Artikel Ini: